FORESTRY

HARGA PATOKAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN


Permendag No. 12 Tahun 2012 Permendag No.22 Tahun 2012  

Untuk menghitung besarnya iuran kehutanan baik Ganti Rugi Tegakan (GR) maupun Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), kita harus mengetahui harga patokan hasil hutan untuk perhitungan PSDH. Berikut  adalah cara menghitung besarnya  GRT dan PSDH:

PSDH  = Tarif x Harga Patokan x Volume

GR Tegakan = (Hrg Patokan – (PSDH + DR + biaya produksi)) x vol

Sejak Maret 2012 harga patokan untuk perhitungan PSDH mengikuti Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/3/2012 yang diubah lagi ke dalam Peraturan menteri Perdagangan No. 22/M-DAG/PER/4/2012.  Namun harga patokan PSDH dalam Lampiran II Permendag No. 22/M-DAG/PER/4/2012 yang berlaku sejak 25  April 2012 sama dengan harga patokan PSDH sebagaimana diatur dalam Permendag No. 8/M-DAG/PER/2/2007.

51 komentar di “HARGA PATOKAN PROVISI SUMBER DAYA HUTAN

    • Betul. Ganti rugi tegakan = penggantian nilai tegakan. Sekedar informasi Permenhut P.58/Menhut-II/2009 sudah dicabut dan tidak berlaku lagi. Penggantinya adalah Permenhut P.14/Menhut-II/2011.

      Terima kasih sudah datang ke blog saya.
      Salam

      Suka

  1. maaf ada satu lagi pertanyaan saya, mohon petunjuknya…hehehe

    Setelah berlakunya Permenhut P.30/Menhut-II/2012 ttg Penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak, maka terhadap pemanfaatan kayu rakyat didaerah saya akan dipungut PSDH dan DR.

    jadi bagaimana cara menghitung PSDH Pinus dari pemanfaatan kayu rakyat??
    karena saya amati PP.59 Tahun 1998 mengenai tarif, tarif yang ada hanya pinus yang berasal HTI yaitu 5%.Sedangkan di perubahan PP.59 tahun 1998 yaitu PP.74 Tahun 1999 terdapat tarif Pinus sebesar 10%.
    Jadi mana yang dipakai untuk menghitung PSDH pemanfaatan kayu rakyat, 5% atauu 10%????

    Bagaimana menghitung DR pinus dari pemanfaatan kayu rakyat???

    Thanks
    salam metal!!!

    Suka

    • Pungutan PSDH dan DR pada hutan hak hanya diberlakukan pada tumbuhan yang tumbuh secara alami pada kawasan hutan yang berubah statusnya menjadi bukan kawasan hutan (APL dan Kawasan Budidaya non Kehutanan). Contohnya daerah transmigrasi. Jadi pastikan dulu pohon tersebut pada kawasan yang demikian. Jika pohon tumbuh alami pada lahan masyarakat, tidak dipungut PSDH dan DR.

      Pinus masuk dalam kelompok jenis rimba campuran. Tarif untuk PSDH sesuai PP.74 tahun 1999 sebesar 10%. Tapi jika diameternya kurang dari 30 cm, tarif PSDH pinus yang dipakai sesuai PP. 59 tahun 1998 sebesar 1%.

      Cara menghitung DR = tarif x volume. Tarif DR untuk pinus (kelompok jenis rimba campuran) bisa dilihat pada Lampiran PP 92 tahun 1999. Jika dari Kalimantan dan Maluku 13 USD/m3, dari Sumatera dan Sulawesi 12 USD/m3 dan Irian Jaya dan Nusa Tenggara 10,5 USD/m3.

      Demikian. Semoga bermanfaat
      Salam

      Suka

  2. Mari Kita Perhatikan Surat Direktorat BIKPHH Nomor S.905/BIKPHH-2/2012 tanggal 16 Agustus 2012 :

    kita bedah maksud dari point ke-2 :
    Terhadap pohon yang tumbuh alami sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat (2) Permenhut P.30/Menhut-II/2012, sebelum dilakukan penebangan oleh pemilik lahan agar dilakukan inventarisasi tegakan oleh DISHUT Kabupaten/Kota setempat dan terhadap hasil produksinya dikenakan pungutan PSDH, DR dan Penggantian Nilai Tegakan.

    pasal 3 ayat (2) : Pemanfaatan hasil hutan kayu yang berasal dari pohon yang tumbuh secara alami dalam kawasan hutan yang telah berubah status dari kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) dan telah dibebani hak, seperti HGU, Hak Pakai, dan bentuk perizinan lainnya yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), mengikuti ketentuan Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara
    (kebetulan didaerah saya tidak ada kawasan hutan yang menjadi APL, jadi untuk daerah saya ini tidak berlaku)

    Sedangkan pada pohon yang tumbuh alami pada lahan APL murni (bukan perubahan dari kawasan hutan) dan pada lahan masyarakat berdasarkan bukti penguasaan tanah sebelum terbitnya alas titel, tetap dikenakan pungutan PSDH dan DR.
    (kebetulan lahan yang seperti inilah yang ada didaerah saya.Masyarakat tidak mempunyai alas titel yang diakui BPN.Hanya SKT Kepala Desa.Tapi status lahan APL murni (tidak konversi).jadi Penggantian Nilai Tegakan tidak bisa dipungut karena dia tidak bekas kawasan hutan.yang bisa dipungut hanya PSDH dan DR.

    jadi menurut saya, sesuai dengan surat BIKPHH point 2 tersebut diatas, ada 2 kesimpulan yaitu:

    1. KAWASAN HUTAN menjadi APL dipungut PNT,PSDH dan DR
    2. APL MURNI (bukan dari kawasan hutan) hanya dipungut PSDH dan DR

    mohon beri petunjuk komen diatas
    trims
    SALAM METAL

    Suka

    • Hehehe…
      Mohon maaf, balasan saya ada yang salah.

      Kesimpulannya Bapak betul. Sesuai Surat Edaran S.905/BIKPHH-2/2012 point 2:
      1. Pohon tumbuh alami pada APL dan telah dibebani hak dikenakan PSDH, DR dan PNT
      2. Pohon tumbuh alami pada APL murni dan lahan masyarakat sebelum terbitnya alas titel dikenakan PSDH, DR.

      Terima kasih koreksinya
      Salam
      Neny

      Suka

      • Ya, betul. Pohon tumbuh alami pada lahan masyarakat (memiliki alas titel yang diakui BPN) dan lahan tersebut berasal dari APL kawasan hutan, maka dipungut PSDH, DR dan PNT (Penggantian Nilai Tegakan).
        Salam
        Neny

        Suka

  3. JADI MAKSUD PERMENHUT YANG BARU INI MENURUT SAYA:

    1. jadi meskipun pohon tersebut tumbuh alami pada lahan masyarakat, tetapi pohon tersebut tumbuh alami sebelum terbitnya alas hak dari BPN maka terhadap pemanfaatannya dikenakan PSDH dan DR.

    2. caranya agar tidak terkena pungutan PSDH dan DR :
    jadi masyarakat terlebih dahulu harus mendapatkan alas titel dari BPN, setelah itu mereka menunggu lahannya ditumbuhi pohon pohonan atau melakukan budidaya langsung pohon pohonan dilahan mereka sendiri.Dan kemudian mereka harus menunggu 30 tahun lagi untuk panen.

    Suka

  4. Tolong saya…

    saya bingung dengan pernyataan-pernyataan menyangkut Permenhut 30/2012 yang Kontrovesial :

    Tumbuh alami pada APL murni sebelum terbitnya alas titel maka dipungutkah PSDH & DR ???
    Tumbuh alami pada APL murni sesudah terbitnya alas titel maka dipungutkah PSDH & DR ???

    Tumbuh hasil budidaya pada APL murni sebelum terbitnya alas title maka dipungutkah PSDH & DR ???
    Tumbuh hasil budidaya pada APL murni sesudah terbitnya alas title maka dipungutkah PSDH & DR ???

    Tumbuh alami pada APL murni sebelum terbitnya alas title maka dokumen angkutannya ???
    Tumbuh alami pada APL murni sesudah terbitnya alas title maka dokumen angkutannya ???

    Tumbuh hasil budidaya pada APL murni sebelum terbitnya alas title maka dokumen angkutannya ???
    Tumbuh hasil budidaya pada APL murni sesudah terbitnya alas title maka dokumen angkutannya ???

    Suka

    • Untuk pelaksanaan P.30/Menhut-II/2012 yang pertama, harus jelas dulu alas titlenya. Yang dimaksud APL murni di Surat Edaran itu adalah APL murni yang telah dibebani hak atas tanah. Jadi pohon yang tumbuh alami pada APL murni itu tetap dipungut PSDH dan DR-nya. Dokumen angkutan menggunakan SKSKB mengikuti PUHH pada hutan negara.

      APL murni yang belum ada izin atau belum dibebani hak, masih dikuasai negara. Sehingga pohon alami atau budidaya di dalamnya juga tidak bisa ditebang, bila belum memiliki izin.

      Demikian. Terima kasih sudah datang ke blog saya.
      Salam
      Neny

      Suka

  5. Tumbuh alami pada APL murni sebelum terbitnya alas titel maka dipungut PSDH & DR dan menggunakan SKSKB.
    Tumbuh alami pada APL murni sesudah terbitnya alas titel maka tidak dipungut PSDH & DR dan angkutan menggunakan Dok. SKAU (selain 23 jenis kayu untuk nota angkutan)

    Jadi harus diperhatikan terlebih dahulu, apakah sertifikat lebih tua atau pohonnya lebih tua.karena apabila taksiran usia pohon 15 tahun tsedangkan usia sertifikat baru 5 tahun maka pohon dianggap tumbuh alami dan harus bayar PSDH/DR untuk memanennya.

    Amati P.30 dan hubungkan dengan Surat BIKPHH

    Mohon dikoreksi jawaban saya
    Thanks

    SALAM METAL

    Suka

    • Begitu juga sebaliknya apabila usia sertifikat sudah 25 tahun sedangkan usia pohon masih 20 tahun, maka tidak akan dikenakan PSDH/DR dalam pemanenannya (karena dalam permenhut yang baru tidak diatur).Dan pengangkutannya menggunakan SKAU,karena untuk memohon SKAU harus melampirkan bukti alas titel yang diakui BPN (pasal 10, P.30/2012)
      Jadi kesimpulannya penerbit SKAU sangat berperan disini, sebelum menerbitkan SKAU, penerbit harus mengamati dan membandingkan alas titel dengan pohon yang akan dipanen.jika pohon lebih tua dari sertifikat (Surat Direktorat BIKPHH Nomor S.905/BIKPHH-2/2012 poin 2) maka dia tidak bisa menerbitkan SKAU, karena dianggap tumbuh alami sebelum terbit alas titel keluar.Jadi harus menggunakan SKSKB

      Thanks
      SALAM METAL

      Suka

      • Betul, Bapak. Penerbit SKAU merupakan pemegang kunci legalitas peredaran kayu rakyat. Cuma saya tidak setuju dengan kalimat “karena dalam permenhut yang baru tidak diatur.” Bukankah ketika sertifikat telah keluar, berarti alas titel jelas? 🙂

        Yang belum diatur dalam Permenhut P.30/Menhut-II/2012 adalah bagaimana jika terjadi perubahan alat angkut, bila terjadi kerusakan di tengah jalan.

        Suka

    • Betul, Bapak. APL murni sudah dibebani hak atas tanah (alas titel), kemudian ada pohon tumbuh alami tidak dipungut PSDH dan DR. Dok angkutan yang dipakai jika masuk 23 jenis seperti yang disebutkan di P.30 memakai nota, lainnya memakai SKAU.

      Sudah TOP gitu loh 🙂

      Suka

  6. didaerah saya, ada lahan masyarakat yang dipakai oleh PT.Toba Pulp Lestari,Tbk (pola PIR/Plasma).Dengan berlakunya Permenhut yang baru ini, terhadap produksi PIR dikenakan PSDH dan DR???

    mohon bantuannya.
    Thanks
    SALAM METAL

    Suka

    • Wah, maaf saya tidak berani menjawab pertanyaan, Bapak. Pengetahuan saya tentang pola kemitraan masih sangat minim. Menurut logika saya, mestinya ada perjanjian antara kedua belah pihak yang membahas hak dan kewajiban.

      Terima kasih atas pertanyaannya. Make me learn forest policy more 🙂
      Salam
      Neny

      Suka

  7. pak bos,,,, permen 12/menhut-II/2012 kan bilang alas haknya kan boleh sertipikat hgu….. tapi menurut uu pokok agraria (uu 5 tahun 1960) kan hgu hanya untuk perusahaan pertanian, peternakan dan kehutanan….. gimana tuh

    Suka

    • Maaf, untuk Permenhut 12/Menhut-II/2012 tentang Perub Kedua Permenhut P.32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS, saya tidak memiliki kompetensi untuk menjawabnya 🙂

      Terima kasih sudah datang ke blog saya.

      Suka

  8. permisi ibu cantik.. mw nanya nih.. iuran dan pajak apa aja yg berlaku untuk untuk pemegang IUPHHK HT dalam hutan produksi.. makasih y bu…

    salam

    Suka

    • Iuran kehutanan untuk pemegang IUPHHK-HT:
      1. IIUPH (Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan) dibayar diawal setelah keputusan pemberian izin keluar
      2. PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan) dibayar jika memanen kayu atau non kayu hasil tanaman pemegang izin
      3. DR (Dana Reboisasi) dibayar jika memanen kayu atau non kayu yang tumbuh alami (misalnya pada saat kegiatan pembukaan wilayah hutan, land clearing)

      Terima kasih, sudah datang ke blog saya
      Salam
      Neny

      Suka

  9. makasih jwabannya… nanya lg y bu, harga patokan psdh untuk IUPHHK HT memang sangat kecil y dibanding harga patokannya di IUPHHK HA.. knp bgitu? trus koq beda satuan. yg satu pake m3, lainnya ton. smisal jenis sengon, pada lampiran 2 Permendag 22 tahun 2012, harga patokan PSDH untuk IUPHHK HT sebesar Rp 30.000/ton. trus untuk IUPHHK HA Rp 360.000/m3, mengingat sengon termasuk kelompok rimba campuran. untuk HTI bayar PSDH nya jd kecil donk..

    salam
    yum

    Suka

    • Ya betul. Menurut pendapat saya, alasannya karena pada HT, pengusaha harus mengeluarkan cost dulu. Satuan volume kayu di kehutanan memang ada dua, m3 dan ton/kg. Penggunaan ton/kg karena alasan efektif dan efisien. Tapi untuk beberapa jenis kayu digunakan satuan ton/kg karena “sangat bernilainya (mahalnya)” suatu jenis kayu, contohnya eboni dan panggal buaya. Dalam permendag satuan mengikuti satuan dalam peraturan pemerintah (peraturan di atasnya). Betul, PSDH HTI memang jadi lebih kecil dibandingkan IUPHHK-HA.

      Demikian. Semoga bermanfaat.
      Salam
      Neny

      Suka

  10. Di daerah saya (NTT) yang sering menjadi masalah dalam peredarah hasil hutan kayu yang berasal dari Hutan Hak, maupun dari hutan Negara adalah masalah kelebihan dan kekurangan dalam proses muatnya ,,kalau kayunya selisih jumlah batangnya sering sekali menjadi masalah oleh oknum tertentu,,(dianggap dokumen tidak sah) sekalipun dokumen sudah pakai FA-KO(dari industri) atau SKAU (dari Hutan HAK),,gimana tu,,mohon pencerahannya,,” Salam Kenal Semua”

    Suka

    • Salam kenal juga 🙂

      Dalam peredaran hasil hutan kayu, ketika kayu sampai di tempat tujuan atau sampai di pelabuhan (dan harus dibongkar), maka kayu-kayu tersebut harus diperiksa oleh P3KB. Untuk kayu bulat yang berasal dari hutan negara, tata cara pemeriksaannya sesuai dengan Lampiran III dan Lampiran IV Permenhut P.55/Menhut-II/2006 dan perubahannya. Pemeriksaan pertama dilakukan secara sampling. Jika secara sampling, kayu dinyatakan terdapat selisih baik jenis, jumlah dan volume, maka akan dilakukan pemeriksaan secara sensus (100%). Prosesnya pertama dicek administrasi (kelengkapan dan kebenaran dokumen), kemudian cek fisik. Cek fisik ini yang pertama kali diperiksa adalah jumlah batang, baru kemudian jenis dan volume. Sehingga bila terdapat selisih jumlah kayu bulat antara dokumen dengan fisik, jelas dianggap salah. Cuma kayu bulat yang dianggap tidak sah adalah kayu bulat yang tidak tercantum dalam dokumen. Sedangkan kayu yang sesuai dengan dokumen dianggap kayu sah. Jadi tidak serta merta semua kayu dalam satu paket itu kayu illegal (Silahkan, baca Lampiran IV Permenhut P.55/Menhut-II/2006).

      Untuk kayu yang berasal dari hutan hak (menggunakan dokumen SKAU) atau sudah kayu hak privat (menggunakan dokumen FAKO), bila terdapat perbedaan antara fisik dengan dokumen dan setelah dilakukan lacak balak benar berasal dari hutan hak, maka hanya dikenakan sanksi administratif. Biasanya berupa pembinaan saja.

      Terimakasih, semoga bermanfaat.
      Salam
      Neny

      Suka

  11. tanya mbak, di Daerah saya P.30 ini menjadi polemik yang ingin saya tanyakan
    1. Apakah SKT yang dikeluarkan Kepala Desa dan disyahkan oleh camat diakui oleh BPN untuk alas titel pemanfaatan kayu?
    2. Pada APL Murni (bukan dari perubahan status) bagaimana prosedur izin pemanfaatan kayu nya jika menggunakan SKT sebagai alas title dan apakah boleh Perusahaan menebang pohon yang ada pada APL Murni tersebut dengan dasar surat kuasa dari pemilik SKT ke Perusahaan tanpa menggunakan IPK?

    Suka

  12. tanya mbak, di Daerah saya P.30 ini menjadi polemik yang ingin saya tanyakan
    1. Apakah SKT yang dikeluarkan Kepala Desa dan disyahkan oleh camat diakui oleh BPN untuk alas titel pemanfaatan kayu?
    2. Pada APL Murni (bukan dari perubahan status) bagaimana prosedur izin pemanfaatan kayu nya jika menggunakan SKT sebagai alas title dan apakah boleh Perusahaan menebang pohon yang ada pada APL Murni tersebut dengan dasar surat kuasa dari pemilik SKT ke Perusahaan tanpa menggunakan IPK?

    Suka

    • 1. Untuk SKT silahkan bertanya langsung kepada BPN setempat. Pada suatu seminar di Denpasar, narasumber pernah mengatakan bahwa SKT sudah tidak diakui lagi sebagai alas titel. Dasarnya peraturan menteri dalam negeri. Hanya saja, Bapak Narasumber tersebut lupa permenddagri nomor berapa.
      2. Pada APL murni menggunakan aturan PUHH yang berasal dari hutan negara Permenhut P.55/Menhut-II/2006 dan perubahannya.Untuk perusahaan tanpa IPK, saya kurang paham ilmunya. Maaf

      Salam
      Neny

      Suka

    • Tarif DR bergantung pada kelompok jenisnya (tidak pada sortimen) dan wilayahnya. Silahkan dilihat pada Lampiran PP 92 Tahun 1999. Contoh kelompok jenis meranti wilayah Sumatera tarif DR sebesar US$14/m3. Penentuan kelompok jenis didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003 tentang pengelompokan jenis kayu sebagai dasar pengenaan iuran kehutanan.

      Untuk tarif PSDH tergantung anatar lain kepada kelompok jenis, wilayah dan diameter (sortimen). Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran PP No. 59 Tahun 1998 jo PP No. 74 Tahun 1999. Sedangkan harga patokannya dapat dilihat pada Permendag No. 22 Tahun 2012.

      Salam
      Neny

      Suka

  13. Tanya..mba…
    1. Tentang Harga Patokan sesuai permendag No. 22/M-DAG/PER/4/2012, lampiran II hanya berlaku sampai 30 Juni 2012, terus untuk selanjutnya sudah ada pembaharuan peraturan atau tidak? apa masih bisa dipakai patokannya jika belum ada pembahrauan?
    2. Terus harga patokan yang dipakai antara permendag No. 8/M-DAG/PER/2/2007 sampai permendag No. 12/M-DAG/PER/2/2012 keluar apa masih digunakan?

    Suka

    • Berdasarkan Surat Edaran Menhut No. SE.3/Menhut-VI/BIKPHH/2014 tanggal 28 April 2014 tentang penetapan harga patokan setelah berlakunya PP No. 12 Tahun 2014 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan bukan pajak yang berlaku pada Kemenhut, maka harga patokan yang dipakai untuk saat ini Permendag No.22/M-DAG/PER/4/2012.

      Suka

  14. mbak,saya bertanya apakah lahan atau hutan hak yang sudah memiliki sertifikat hak milik masih di kenakan pembayaran PNT,,karena selama ini kami tetap di kasih SPP utk PNT selain DR/PSDH

    Suka

    • Jika lahan Bapak dulunya berasal dari perubahan kawasan hutan negara dan pohon yang ditebang adalah pohon yang tumbuh alami—->maka dipungut PNT, DR dan PSDH.
      Jika lahan Bapak dulunya bukan berasal dari perubahan kawasan hutan negara (APL murni) dan pohon yang ditebang adalah pohon yang tumbuh alami —–> maka dipungut DR dan PSDH saja.

      Suka

  15. Mohon bantuan nya….
    Terkait permenhut no P.52 Tahun 2014, tentang klas diameter pada kayu bulat guna penentuan tarif PSDH dan DR nya…. selama ini penetuan diameter kami menggunakan diamater pangkal, tapi sejak deberlakukannya P.52 tahun 2014 ada kerancuan mengenai klas diameter dimaksud, sebab tidak disebutkan diameter dimaksud apakah pangkal atau rata-rata, ada kasus pada sebuah wajib bayar ditentukan limit diameter yang boleh ditebang adalah 50 cm up (yg menurut kami adalah diameter pangkal), namun pada saat pembuatan LHP yg tercantum adalah diameter rata-rata, contoh dp=52cm du=46cm D=49cm, sehingga untuk penentuan tarif masuk klas KBS. pertanyaan kami adalah :
    1. Apakah kayu tersebut masuk klas KB atau KBS karena ada perbedaan tarif antara KB dan KBS terutama DR…?
    2. Apakah tidak menjadi temuan pelanggaran eksploitasi karena WB tersebut menebang dibawah limit ….?

    mohon pendapatnya…….terima kasih…..

    Suka

    • Cara pengukuran diameter kayu bulat didasarkan pada Perdirjen BUK P.14/VI-BIKPHH/2009 tentang Metode Pengukuran dan Tabel Isi Kayu Bulat Rimba Indonesia. Untuk kayu bulat yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman dengan panjang > 5 m, diameter kayu bulat merupakan diameter rata-rata antara diameter pangkal dengan diameter ujung. Diameter pangkal diukur pada diameter terpanjang dan terpendek, kemudian dirata-rata. Begitu juga dengan diameter ujung. Diukur dua kali yang terpanjang dan terpendek. Sedangkan untuk kayu bulat dari hutan tanaman dengan panjang 0 – 5 m adalah diameter ujung. Caranya sama diukur 2 kali yang terpanjang dan terpendek, baru dirata-rata. D = 49 cm tersebut masuk sortimen KBS. Sehingga tarifnya pakai KBS. Menebang kayu di bawah batas diameter yang diizinkan, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur pada Permenhut P.39/Menhut-II/2008.

      Suka

      • Siang mbak Neny,sbelumnya saya ucapkan terima kasih untuk jawaban terdahulu. Yang mau saya tanyakan adalah kami pemegang ipk pada areal apl murni berdasarkan peta penunjukkan kawasan hutan dan perairan provinsi atau peta TGHK,pertanyaannya apakah kami wajib membayar PNT selain PSDH dan DR ? Mohon jawabannya mbak.terima kasih

        Suka

      • Berdasarkan Permenhut P.62/Menhut-II/2014 –> definisi Izin Pemanfaatan Kayu yang selanjutnya disebut IPK adalah izin untuk menebang kayu dan/atau memungut hasil hutan bukan kayu sebagai akibat dari adanya kegiatan izin non kehutanan antara lain dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan dengan izin pinjam pakai, dan dari Areal Penggunaan Lain yang telah diberikan izin peruntukan. Kemudian definisi APL adalah Areal Penggunaan Lain yang selanjutnya disebut APL yang telah dibebani izin peruntukan adalah areal hutan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi, atau berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) menjadi bukan kawasan hutan. Artinya IPK pada APL, seharusnya berasal dari “kawasan hutan”, yang otomatis wajib membayar PNT. Jadi sebaiknya Bapak berkonsultasi kepada Direktorat Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan, Dirjen Bina Usaha Kehutanan, di Jakarta. Mohon maaf bila tidak memuaskan.

        Salam 🙂
        Neny

        Suka

  16. Ibu Neny ,,,,,,, bisakah saya kontak ibu , ada hal yang saya Mau konfirmasikan tentang seputar Hutan Hak , no hp saya 081275468668 a/n Adil Priyadi di Kepulauan Riau.
    Terima kasih

    Suka

Tinggalkan komentar